Khayangan News

Media Online Paling Akurat dan Terpercaya

Selasa, 11 Oktober 2022

Oleh Kessi; Sengketa Perdagangan Mobil Nasional Timor Indonesia dengan Jepang dan Uni Eropa

KhyanganNews, Jambi,- Oleh; Kessi Dwianti, Mahsiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi, Dalam Tulisannya Ia memperkenalkan kepada publik dan memberikan sebuah kajian hukum dalam sengketa perdagangan mobil Timor sebagai kendaraan nasional yang memicu banyak kontroversi dan tindakan hukum, terutama dalam perekonomian global." Tulisnya

Timor mendapatkan berbagai fasilitas dan keistimewaan atau perlakuan khusus. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang bersikeras melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi yang justru mengganggu ketertiban pasar.

Menurut Kessi," Dalam perekonomian global, kerjasama Indonesia dengan Korean International Automotive (KIA) dianggap sebagai bentuk diskriminasi hukum. Jepang sebagai salah satu negara pengekspor suku cadang mobil, kemudian mengadu ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)." Terangnya

Inpres No. .2 Tahun 1996 yang dikeluarkan di Jepang menandai dimulainya gugatan yang menetapkan PT Timor Putra Nasional sebagai perusahaan pertama yang membuat Mobnas. Namun, karena belum dapat memproduksi di dalam negeri, maka keluarlah Keputusan Presiden No. 42 Tahun 1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional yang menyatakan perizinan kepada PT Timor Putra Nasional untuk mengimpor mobil nasional dari Korea Selatan dan beri merek "Timor" dalam bentuk jadi atau utuh (CBU).


PT Timor Putra Nasional dapat menghindari pembayaran pajak dan bea jika menggunakan hingga 60% komponen lokal dalam waktu 30 tahun pembuatan kendaraan nasional pertama. Namun, PT Timor Putra Nasional harus menanggung biaya pajak barang mewah dan bea masuk atas barang impor jika penggunaan komponen lokal yang ditentukan secara bertahap, yaitu 20% pada tahun pertama dan 60% pada tahun ketiga, tidak terpenuhi. Namun, komponen utama tampaknya diabaikan, karena Timor sebenarnya masuk ke Indonesia dalam bentuk akhir dari Korea Selatan tanpa membayar pajak impor, seperti biaya pelabuhan. Hal ini memicu tanggapan dari sejumlah pihak, termasuk Jepang, Amerika Serikat, dan sejumlah negara Eropa. Namun, Jepang berupaya maksimal karena minatnya yang kuat di industri otomotif yang menguasai hampir 90% pangsa mobil di Indonesia. Akibat rencana mereka untuk berinvestasi di sektor otomotif Indonesia, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa bereaksi dengan prihatin. Pada akhirnya, Jepang dan pemerintah Indonesia melakukan pembicaraan, tetapi tidak ada kesepakatan. Wakil Menteri Luar Negeri Perdagangan dan Industri Jepang kemudian mengumumkan dalam tindakan selanjutnya bahwa mereka akan menyerahkan masalah ini ke WTO." Tulisnya

Dalam Tulisannya Kessi menjelaskan Ada tiga(3) poin dalam gugatan WTO Jepang terhadap Indonesia:


1. Perlakuan khusus terhadap mobil impor KIA Motor Korea yang hanya menguntungkan satu negara. Pasal 10 General Agreement on Traffic and Trade (GATT) yang mengatur perlakuan bebas tarif terhadap barang impor dilanggar oleh kebijakan ini.


2. Barang-barang mewah dibebaskan dari pajak selama dua tahun untuk produsen mobil nasional. Pasal 3 ayat 2 GATT dilanggar oleh kebijakan ini.


3. Membutuhkan campuran beban lokal seperti intensif." Jelasnya


• Pembebasan pajak barang mewah sebagai bagian dari program mobil nasional yang melanggar Pasal 3 ayat (1) GATT dan Pasal 3 Perjanjian Perdagangan Multilateral.
• Pembebasan izin dari tarif impor.

Berdasarkan Pasal 22 ayat 1 GATT, pemerintah Jepang secara resmi mengadukan Indonesia kepada WTO pada tanggal 4 Oktober 1996. Inti dari pengaduan Jepang adalah ingin agar masalah sengketa dagangnya dengan Indonesia diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam WTO bahwa jika dalam tempo lima sampai dengan enam bulan setelah pengaduan ke WTO belum dapat diselesaikan, maka Jepang akan membawa perkara tersebut ke tingkat yang lebih tinggi.

 Setelah enam bulan tidak ada penyelesaian sejak Jepang secara resmi mengadukan Indonesia ke WTO melalui pembentukan Dispute Settlement Body (DSB) atau sidang bulanan pada penyelesaian sengketa. Panel yang beranggotakan 3-5 orang inilah yang akan memeriksa pengaduan dan saksi-saksi. Pengaduan dan saksi akan diperiksa oleh panel ini yang terdiri dari 3-5 orang. Selain itu, panel akan menyampaikan rekomendasi kepada DSB dalam waktu enam bulan, dan satu tahun kemudian, DSB akan meratifikasi keputusan panel.

Ketika datang ke perdagangan internasional yang sebenarnya, setiap negara yang menjadi anggota WTO harus mematuhi prinsip-prinsip WTO. Perdagangan bebas mengharuskan semua pihak memahami perjanjian perdagangan internasional dan bagaimana mereka mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Perjanjian kerangka WTO bertujuan membangun sistem perdagangan global yang mengatur masalah perdagangan agar negara-negara dapat bersaing secara lebih terbuka, adil, dan sehat.
Berdasarkan penilaian bahwa kebijakan pemerintah Indonesia merupakan bentuk diskriminasi dan akibatnya melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas, Jepang membawa isu mobil nasional terhadap Indonesia ke WTO. 

Indonesia yang secara resmi bergabung dengan Organisasi Perdagangan Dunia dengan meratifikasi Konvensi WTO melalui UU No.7 Tahun 1994 terikat dengan ketentuan GATT, yang meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut:


1.Pasal XI, Bagian 1 GATT tahun 1994 menjadi landasan gagasan bahwa hambatan dan tindakan non-tarif harus dihilangkan.


2. Pada prinsipnya GATT hanya mengizinkan tindakan proteksi berbasis tarif terhadap industri dalam negeri, bukan tindakan perdagangan lainnya. Tingkat proteksi yang diberikan oleh tarif ini terbukti, dan masih ada kemungkinan persaingan yang sehat. Karena proteksi perdagangan non-tarif dapat mengganggu tatanan ekonomi global, prinsip ini diterapkan.


3. GATT 1994 Pasal III, paragraf 4, yang mendefinisikan konsep perlakuan nasional. Produk yang diimpor ke suatu negara harus diperlakukan sama dengan yang diproduksi di dalam negara tersebut. Prinsip ini juga menetapkan bahwa negara-negara anggota WTO tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap domestik /pelaku usaha lokal dan asing, khususnya terhadap anggota WTO lainnya. Aturan ini bersifat universal dan berlaku untuk semua pajak dan pungutan lainnya. Selain itu, prinsip ini melindungi terhadap proteksionisme yang ditimbulkan oleh kebijakan atau tindakan administratif atau legislatif.


4. WTO memutuskan bahwa Indonesia telah melanggar Prinsip Perlakuan Nasional GATT dan bahwa kebijakan otomotif negara tersebut tidak mengikuti filosofi perdagangan bebas WTO. Akibatnya, Indonesia telah diperintahkan oleh World Trade Organization (WTO) untuk berhenti menyediakan PT Timor Putra Nasional, pembuat mobil Timor, dengan semua fasilitas dan subsidi:


a.) Pemerintah hanya memberlakukan pajak barang mewah dan bea masuk kepada PT.Mobil nasional Timor merupakan bentuk diskriminasi, dan tentunya akan sangat merugikan investor yang sebelumnya telah menjalankan usahanya dan menanamkan modalnya di Indonesia. Penghapusan bea masuk dan pajak barang mewah dari Timor-Leste berpotensi menurunkan biaya produksi, menurunkan harga mobil Timor-Leste di pasaran. Namun, ini akan menempatkan investor asing dalam posisi yang sulit karena mereka tidak akan mampu menurunkan harga jual produknya di pasar yang tidak kompetitif.
Investor asing pasti akan sangat menderita dalam keadaan sehat seperti itu.


b.) Aturan dan regulasi GATT telah berusaha untuk menghilangkan semua hambatan perdagangan, termasuk hambatan perdagangan non-tarif, untuk mewujudkan perdagangan bebas yang efektif dan efisien. Devisa dipandang sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan perdagangan non-tarif penghalang untuk melindungi pasar domestik dari tekanan pasar luar negeri. Salah satu cara pemerintah melindungi pasar mobil Timor agar tidak kalah dari produsen mobil asing adalah melalui kebijakan ini. Alat kebijakan ini jelas sangat merugikan produsen mobil asing dan dapat menyulitkan pesaing untuk bersaing.
Dalam GATT dan WTO, terdapat dua jenis forum penyelesaian sengketa yaitu non-yudisial (Negosiasi dan Konsultasi, Good Office, Mediasi, dan Konsiliasi) dan bentuk penyelesaian yudisial formal (Arbitrase atau Judiciary Settlement) dapat melibatkan pihak ketiga. Melalui Organisasi Perdagangan Dunia, Negara memainkan peran diplomasi dalam kasus-kasus sengketa perdagangan internasional. 

Diplomasi dilakukan baik sebelum maupun sesudah keputusan diambil, sehingga Indonesia berhak untuk tidak terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara lain. Kemungkinan Indonesia memenangkan sengketa dari negara yang melanggar hukum internasional melalui pelanggaran TRIPS, TBT, dan GATT membuka kemungkinan penyelesaian sengketa perdagangan antara Indonesia dengan negara lain. Charter of Economic Rights and Duties of State yang menyatakan bahwa suatu negara mempunyai hak dan kewajiban atas perekonomiannya dan bahwa negara lain tidak boleh menghalangi perekonomiannya, diharapkan dapat diterima lebih banyak dukungan dari pemerintah Indonesia." Tulis Kessi, Mahasiswa Hukum Unja

(Penulis : Kessi Dwianti/Editor.Kh.Rf.22) 

Share:

0 comments:

Posting Komentar



Arsip Blog

Beriklan Di sini?

Untuk beriklan Hubungi Contact Person +62 852 4655 3855





Total Tayangan Halaman